Sabtu, Juli 18, 2009

WISATA BAHARI, MASIH TAK BERUBAH


minggu pagi menyisakan embun yang kerlap-kerlip di permukaan sungai barito yang sedang pasang naik. Hilir mudik perahu, kapal, dan jukung sudur melintas mencari muara tempat mengisi lambung tuk dijajakan ke sepanjang hilir sungai penuh lanting ini. Kehidupan berawal dari tepi sungai yang berwarna kuning, aroma buah kuini semerbak menyebar di setiap sampung jukung. Memang sedang musim buah kuini.Aku berdiri di atas perahu bermesin menuju sebuah pulau di muara kuin, konon pulau ini dihuni seribu kera tapi bukan bekantan. Pulau tempat berdiam bagi primata yang tersingkirkan dari habitatnya, karena ada tambatan tongkang batu bara, ada ceceran minyak buangan dari dermaga di seberangnya, ada tumpukan gabuk yang teronggok dari sisa-sisa pembakaran pabrik dan sawmil. Ada sampah plastik yang terbuang dengan sengaja sebagai hasil jasa baik pengunjung memberi sedekah penghuni pulau. Pohon bakau tak lagi berdaun lebat, batangnya kurus tak mampu menjangkau matahari, akarnya tersangkut kotoran dan sampah, malah terukir sepasang nama pengunjung dengan mata pisaunya. Ada luka, dikulit kera. kata guide yang berkeliaran dengan sebilah tongkat di tangan karena nakal sehingga tergores cemeti untuk mengusirnya agar tak mengganggu pengunjung. Ia suka mencuri, ia penjambret, ia pemakan segala yang dibawa pengunjung, tambah sang guide bangga. Untuk kenakalan itu, beberapa pukulan tongkat mengelupas kulit sang kera. Ia tidak lagi memakan pucuk hijau daun bakau yang dulu tumbuh subur sekeliling pulau, ia tidak lagi suka mandi berenang di tepi sungai dengan berlompatan riang, ia ketakutan. Pulau Kembang, sebuah nama yang harusnya indah dan harum serta kera putih yang santun dan tidak kelaparan sebagai penghuni selayaknya jadi tontonan wisata bahari. Apalagi berdekatan dengan 'pasar terapung' lintas 'jembatan barito' serta ikon-ikon kebaharian lainnya di sepanjang sungai barito dengab segala keunikan dunianya. Namun, masih tak berubah! tiada sentuhan untuk menciptakan suatu keindahan, kenyamanan, dan keterpesonaan kecuali lambat-laun akan menyisakan sebuah cerita kuno bagi generasi baru. Seekor kera putih kecil, berlari dihadapanku. matanya menatapku, takut sekali! Ada sugesti bahwa pengunjung akan mengusiknya atau mungkin membunuhnya. Kera kecil itu memungut sebutir kacang yang tersisa dari dalam plastik di sela akar bakau. Tubuhnya nyaris kulit yang membungkus kulit, ia kalah gesit dengan kera-kera lain yang lebih besar dan mungkin ganas karena seleksi alam telah membentuknya agar berani dan bersedia kena pukul untuk mendapatkan sebutir kacang. Kita jarang membawa pisang atau jeruk untuk konsumsi alamiah kera-kera itu, malah kita bangga jika bisa membawakan pizza atau hotdog. Ada altar di sana, dan setiap waktu ada makanan yang dipersembahkan. tapi sayang bukan untuk sang kera melainkan bagi orang-orang yang merasa sebagai kuncen atau menjualnya untuk makan siang mereka.
Rasa penat aku duduk dalam joglo yang terlihat rapuh Aku memikirkan harga tanda masuk yang cukup mahal setiap pengunjung dan rerata kunjungan 100 hingga 200 setiap minggu mengapa tidak terawat secara layak parimata kesayangan banua itu. Mana subsidi pembangunan wisata, mana perhatian kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar